Senin, 06 Mei 2013

UN, Ode Ekstrimis buat Pelajar



Ujian Nasional (UN) merupakan momok yang paling menakutkan bagi pelajar. Perjuangan selama tiga tahun ditentukan dalam waktu kurang dari seminggu.
            Semua siswa pasti ingin lulus dari bangku sekolahnya dengan nilai yang sempurna. Segala macam cara dicobanya. Mulai dengan berdesak-desakkan sambil bermacet-macetan di atas bus kota, belajar delapan jam perhari di sekolah   selama tiga tahun serta mengikuti les tambahan. Akan tetapi semua perjuangan selama tiga tahun itu ditentukan dalam waktu yang kurang dari seminggu.
Bukan hanya itu. UN diseting dengan cara yang ekstrim. Dijaga ketat oleh aparat keamanan seperti buronan kelas kakap. Mulai saat proses pracetak naskah soal, pendistribusian hingga UN itu berlangsung. Alasannya demi keamanan, agar tidak sampai terjadi kebocoran soal Ujian. Sampai ujian berlangsung pun dijaga oleh pengawas yang lebih dari satu, terkadang banyak juga sekolah yang memanfaatkan kamera CCTV guna memantau agar tidak ada siswa yang menyontek.
Pemerintah dengan program UN diharapkan mampu melahirkan bibit unggul yang kompeten. Selain itu juga untuk menyaring siswa yang benar-benar pintar dengan tujuan mengurangi angka pengangguran pasca kelulusan. Karena setiap tahun angka pengangguran meningkat. Salah satu faktornya karena banyaknya lulusan sekolah yang belum dan ingin mendapatkan pekerjaan. Namun fakta di lapangan, lapangan kerja yang ada tidak bisa menyerap semua lulusan apalagi semuanya masih minim pengalaman kerja.
UN diseting untuk menyaring orang-orang pintar. Melalui UN, diharapkan yang lulus itu adalah orang yang menguasai semua materi pelajaran yang diajarkan selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Akan tetapi dalam hal ini, pintar belum tentu berhasil. Dalam kondisi ini yang dipakai adalah istilah orang yang beruntung lebih baik dari orang pintar. Betapa tidak? Setiap tahun banyak orang yang pintar secara prestasi akademik namun gagal saat mengikuti UN. Hasilnya tidak lulus. Kalau begitu, apakah UN itu tepat untuk diterapkan sebagai barometer kelulusan bagi setiap siswa? Apakah setimpal pengorbanan siswa selama tiga tahun ditentukan dalam kurun waktu kurang dari seminggu? Dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji kembali sistem UN sebagai barometer kelulusan bagi setiap siswa.

UN Kacau
Pelaksanaan UN di tidak serempak. Pelaksanaan UN di 11 Propinsi di Indonesia Tengah diundur karena naskah soal yang belum siap. Dan pengumuman pengunduran jadwal tersebut hanya berselang beberapa jam menjelang UN itu berlangsung, Banyak pakar yang menyebutkan ini adalah pelaksanaan UN yang paling kacau dalam  kurun waktu 5 tahun terakhir. UN kacau, siapa yang salah? Semua pihak terkait pasti tidak ada yang mau disalahkan. Baik dari pihak Kemendikbud ataupun pihak Percetakan. Karena semuanya pasti punya alasan. Banyak pihak pula yang mempertanyakan sistem pemenangan tender PT GIP selaku salah satu perusahaan pemenang tender proyek pencetakan naskah soal UN yang kini menuai masalah. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan bertanggung jawab atas kekacauan ini?
Banyak pihak yang dirugikan dalam kasus ini. Mulai dari siswa, pihak sekolah maupun pemerintah. Mulai dari keuangan hingga psikis peserta. Tidak semua siswa senang atas pengunduran jadwal UN ini. Karena tidak semua siswa bertempat tinggal dekat dengan sekolah tempat berlangsungnya UN. Banyak juga yang berjarak puluhan kilo meter ke sekolah. Belum lagi jika UN dilangsungkan di sekolah lain yang lebih memenuhi syarat untuk melaksanakan UN. Banyak siswa yang menyewa tempat tinggal sementara yang lebih dekat dengan tempat diadakannya UN. Kalau UN diundur tentu mereka akan mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk makan dan penginapan. Dan tidak semua orang tua murid itu mampu dalam hal ekonomi. Pengunduran jadwal ini juga mengganggu psikologi peserta UN. Betapa tidak? Kegiatan ekstrim yang seharusnya sudah selesai masih membayang di depan mata karena UN belum juga dimulai. Kegiatan UN yang tidak serempak menimbulkan banyak kecurangan mulai dari kebocoran soal hingga yang lain seperti penyelewengan soal ujian oleh pihak-pihak tertentu yang berujung maraknya peserta UN yang percaya akan kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya.
Pemerintah sudah saatnya mengkaji ulang sistem kelulusan bagi siswa. Karena UN bukan cara yang tepat sebagai barometer kelulusan. Masih banyak cara lain yang tepat sebagai ajang evaluasi siswa. Seperti menggunakan nilai sehari-hari atau dengan sistem tugas akhir seperti yang dipakai oleh semua perguruan tinggi. Dari pengalaman sebelumnya, tidak semua orang yang lulus itu orang yang pintar melainkan orang yang beruntung. Bisa saja saat sehari-hari siswa tersebut jarang masuk atau sering melakukan tindakan indispliner.
UN diharapkan mampu mencetak generasi muda yang jujur. Dalam pelaksanaan UN sering terjadi ketidakjujuran siswa, seperti menyontek atau pun bekerjasama dengan teman sebelah. Dalam pelaksanaan UN sering terjadi ketidakjujuran siswa, seperti menyontek atau pun bekerjasama dengan teman sebelah. Yang dibutuhkan negeri ini adalah  generasi masa depan yang jujur. Sehingga setelah mengabdi pada masyarakat atau saat berada di dunia kerja menjadi orang yang jujur pula. Banyak orang yang tidak jujur di negeri ini. Saat masih duduk dibangku sekolah sudah berani melakukan hal yang tidak jujur bagaimana nanti?
UN yang ada saat ini merupakan satu-satunya tonggak barometer kelulusan siswa. Namanya juga tonggak kelulusan berarti hidup mati siswa ditentukan di sini. Segalanya wajib dipersiapkan siswa termasuk dalam penguasaan materi pelajaran. Namun karena ketatnya pelaksanaan UN ini melebihii buronan kelas kakap membuat beban Psikologi siswa bertambah. Mereka seakan seperti tersangka yang tersudutkan. Perjuangannya perlu diapresiasi. Berjalan jauh ke sekolah, banyak juga yang berjalan kaki terutama mereka yang tinggal di pedalaman yang jauh dari kota. Namun sesampainya di ruang ujian, mereka di awasi secara ketat. Ada juga sekolah yang sampai menyewa aparat keamanan demi ketertiban dan kelancaran jalannya UN. Sehingga siswa merasa lebih terbebani. Alhasil jika siswa tersebut nilainya tidak memenuhi standar yang ditetapkan maka dinyatakan tidak lulus. Sampai kapan UN menjadi momok yang menegangkan bagi siswa? Sampai kapan pemerintah akan terus berdiam diri?
Misbah Priagung Nursalim
Mahasiswa Universitas Pamulang
Jurusan Sastra Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar