Jumat, 20 Juni 2014

Mengenal Wiracarita Mahabharata



A.    Pengantar
Mahabharata (Sanskerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
B.     Pengaruh dalam budaya
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa pada masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya pada masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari zaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
Dalam dunia sastera popular Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.
C.    Versi-versi Mahabharata
Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sanskerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua. Di Indonesia sendiri juga terdapat beragam versi mengenai cerita Mahabharata. Itu semua tergantung dari daerah dan dalang yang membawakan cerita.
D.    Daftar kitab
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
1.      Adiparwa Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
2.      Sabhaparwa Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
3.      Wanaparwa Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha
4.      Wirataparwa Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
5.      Udyogaparwa Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
6.      Bhismaparwa Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
7.      Dronaparwa Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
8.      Karnaparwa Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17
9.      Salyaparwa Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
10.  Sauptikaparwa Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
11.  Striparwa Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
12.  Santiparwa Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
13.  Anusasanaparwa Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
14.  Aswamedhikaparwa Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
15.  Asramawasikaparwa Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
16.  Mosalaparwa Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
17.  Mahaprastanikaparwa Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
18.  Swargarohanaparwa Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.

Kamis, 12 Juni 2014

Semiologi Rolland Barthes



Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda dan hubungannya. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, Semeion yang berarti tanda (Pari, 1994:25; Noor, 2004:83). Menurut Munaf, Semiotik adalah pengetahuan tentang tanda. Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tanda-tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Noor, 2005:83). Semiotik adalah ilmu yang khusus mempelajari tentang tanda. Semiotik adalah teori yang berasal dari teori bahasa, namun memiliki keandalan sebagai metode analisis untuk mengkaji tanda (Istanto, 2005:113). Menurut Zoest semiotik adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Istanto, 2005:114). Sedangkan menurut Piliang, semiotik adalah ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat (Piliang, 2010:21). Jadi, dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda dan penggunaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Menurut Pierce, apapun dapat menjadi tanda. Tidak hanya benda fisik, pemikiran pun dapat menjadi tanda. Apapun dapat menjadi tanda jika berfungsi sebagai tanda (dalam konteks pasti) yang merepresentasikan objek dan menentukan interpretan. Objek yang sama dapat berfungsi menjadi tanda yang berbeda, karena suatu objek dapat diidentifikasikan bermakna (berarti) menurut fungsi pengertiannya atau sesuai dengan konteksnya. Objek dikatakan berfungsi sebagai tanda, dapat dilihat dalam dua hal yaitu :
1.      Objek yang pada waktu dan tempat, secara aktual berfungsi sebagai tanda (dalam konteksnya).
2.      Objek secara khusus berfungsi sebagai tanda (dalam konteksnya).
Sedangkan menurut John Fiske, terdapat tiga hal penting dalam memahami semiotik, yaitu :
1.      Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.
2.      Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.
3.      Kebudayaan di mana kode lambang itu beroperasi.

Dalam semiotik, tokoh yang terkenal antara lain Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure. Mereka berdua dikenal sebagai bapak semiotik modern. Ferdinand de Saussure adalah ahli linguistik modern. Dasar pemikiran Saussure mengenai semiotik adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai suatu sistem tanda tetapi bahasa bukan merupakan satu-satunya tanda. Atas dasar itu, Sasussure menyatakan bahwa ilmu bahasa sebagai studi tentang jenis tanda mendapat tempat di dalam ilmu tanda (Noor, 2005:83). Menurutnya Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat[1]. Saussure mengenalkan teori semiotiknya dengan istilah semiologi, sedangkan Peirce mengenalkan teori semiotiknya dengan istilah semiotik.
Charles Sanders Peirce dalam Istanto (2005:114), ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotik modern Amerika, menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda, karena manusia itu sendiri adalah Homo Semioticus (Munaf,2001:67). Tanda yang dapat dimanfaatkan dalam seni rupa berupa tanda visual yang bersifat non-verbal, terdiri dari unsur dasar rupa seperti garis, warna, bentuk, tekstur, komposisi dan sebagainya. Tanda-tanda yang bersifat verbal adalah obyek-obyek yang dilukiskan, seperti obyek manusia, binatang, alam, imajinasi atau hal-hal lain yang bersifat abstrak lainnya. Pierce memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda secara umum. Meskipun ia memberi tempat yang penting bagi tanda-tanda linguistik tapi ia tidak mengutamakannya. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik dan tidak sebaliknya (Sudjiman, 1992:1-2). Bagi Pierce, tanda mempunyai sifat representatif (Denotatum), sifat interpretatif (Interpretant) dan tanda yang menopang tanda (Ground). Hubungan antara tanda dan acuannya (Denotatum) dapat dibedakan atas ikon (kemiripan :foto, patung), indeks (kedekatan, eksistensi) dan simbol (konvensi). Setiap interpretant selalu menjadi tanda baru sehingga terjadi rangkaian tanda secara terus menerus (Noor, 2004:82-83). Simbol dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang membawa arti tertentu yang dikenal oleh setiap individu yang memiliki budaya/tatanan ide yang sama. Menurutnya Semiotik adalah ilmu, bagian dari logika yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia dan alam.
Menurut Pierce (Pari, 1994:26), fungsi semiotik adalah menjadikan kita lebih menyadari apa-apa yang kita dan orang lain percayai, tentang suatu “Kebiasaan” dan “Kepercayaan” yang mendasari pemikiran dan perilaku manusia, karena tidak percaya segala sesuatu tetapi seringkali kita sangat tidak menyadari hal tersebut.
Saussure memilah tanda (Sign) menjadi dua elemen yaitu antara penanda (Signifier) dengan petanda (yang ditandai atau signified). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca (suara, bunyi, huruf, bentuk, gambar atau gerak). Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa.
Menurut Hoed, semiotik memiliki dua aliran yaitu, Semiotika Struktural dan Semiotika Pragmatik. Semiotika Struktural yaitu semiotik yang dibawa oleh Saussure (semiologi), yakni semiotik terdiri atas penanda dan petanda seperti yang diterangkan di atas atau yang lebih dikenal dengan istilah Diadik. Sedangkan Semiotika Pragmatik dibawa oleh Pierce, di mana ia mengemukakan bahwa tanda adalah hasil proses semiosis; proses kognitif. Baginya Suatu tanda mewakili sesuatu yang lain.

Semiotik Roland Barthes
Roland Barthes merupakan seorang tokoh filsuf, tokoh kritikus sastra dan pemikir strukturalis serta Semiolog Prancis yang paling eskplisit meneruskan semiologi Ferdinand de Saussure. Ia mengembangkan teori penanda (Signifier) dan petanda (Signified) menjadi lebih dinamis. Ia merupakan tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an (Sobur, 2004 : 63).
Menurut Barthes, sebuah tanda tidak berhenti pada dua elemen pembentuknya saja, yakni Signifier dan Signified. Elaborasi lebih lanjut dari dua elemen tanda model Saussure dilakukan oleh Barthes ke dalam dua tingkatan Signification. Tingkatan pertama adalah hubungan antara Signifier dan Signified itu sendiri terhadap relasinya, disebut denotasi atau makna sebenarnya. Tingkatan kedua adalah konotasi dan mitos. Kedua elemen pada tingkatan kedua tersebut dipengaruhi oleh interpretasi budaya, sehingga konteks di mana tanda tersebut dilahirkan berguna dalam melihat tingkatan yang kedua. Bentuk pertama tingkatan kedua adalah konotatif. Konotatif adalah makna yang hanya dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan budaya yang sama pada waktu tertentu. Sedangkan mitos adalah cara berfikir budaya mengenai suatu hal termasuk di dalamnya cara mengkonseptualisasikan atau memahami. Biasanya mitos merujuk pada suatu ide yang belum tentu benar.
Barthes mengembangkan penanda (Signifier) dan petanda (Signified), menjadi ekspresi (E) untuk penanda (Signifier) dan isi (C/Contenu) untuk petanda (Signified). Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) sehingga membentuk tanda (Sn). Ia mengemukakan konsep tersebut dengan E-R-C. Konsep relasi ini mebuat teori tantang tanda lebih mungkin berkembang karena R ditentukan oleh pemakai tanda (Hoed, 2011:45).
Setiap tanda memperoleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum (denotasi) dan oleh Barthes disebut sistem primer, sedangkan segi pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder yang ke arah ekspresinya disebut metabahasa, artinya E dapat berkembang membentuk tanda baru sehingga ada lebih dari satu E untuk C yang sama. Dengan kata lain, suatu tanda mempunyai bentuk banyak dengan makna yang sama. Sedangkan sistem skunder yang ke arah C disebut konotasi, artinya C dapat berkembang membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu C untuk E yang sama (Hoed, 2011:13). Dengan kata lain suatu tanda mempunyai banyak makna dengan bentuk yang sama. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada bagan di bawah ini :
Gambar 2.1 : Bagan Model Semiotik Barthes

Pada tingkat konotasi ini dapat terlihat bentuk atau struktur tertentu di mana di dalamnya dapat terlihat idiologi tertentu yang dibawa. Komik sebagai sebuah budaya populer mengusung idiologi yang tersembunyi di balik penampakan artistik komik itu sendiri. Sehingga komik merupakan pengartikulasian dari kartunis itu sendiri.


[1] Makalah Seminar Nasional di UIN Syarif Hidayatullah – Jakarta pada Selasa, 22 Oktober 2013 oleh Prof. Dr. Benny H. Hoed, Guru besar Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia, serta penulis buku “Semiotik dan Dinamika Sosial budaya”, dengan judul makalah “Semiotik dan Budaya” Adapun tema seminar itu antara lain “Antara Budaya Islam : Kearaban dan Keindonesiaan” 


Sumber :
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ali, Yusnan. 2004. Penggambaran Reformasi 1998 dalam Komik. Skripsi. FISIP. UI.
Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung : Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Bonneff, Marscel. 1976. Les Bandes Dessinees Indonesianes, diterjemahkan oleh Hidayat, Rahayu S. 1996. Komik Indonesia. Jakarta : -
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Hehahia, Pieter Levianus, dkk. 2008. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Tangerang : Scientific Press.
Hoed, Beny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta : Komunitas Bambu.
_____________. 2013. Semiotika dan Budaya. Seminar. UIN JAKARTA.
Intan, Noor. 1998. Perkembangan Komik Indonesia Tahun 1990-an. Skripsi. FIB. UI.
Istanto, Freddy H. 2005. Rajutan Semiotika untuk Sebuah Iklan Studi Kasus Iklan Long Beac. Jurnal. Fakultas Seni dan Desain. Universitas Kristen Petra.
Janah, Amaliyatul. 2007. Citra Perempuan dalam Iklan Radiio Analisis Iklan Serongpas Ginseng Pasama. Skripsi. Fakultas Dakwah. UIN Sunan Kalijaga.
Karlina, Frisanti. 2005. Representasi Penggambaran Isu-isu Politik Selama Pilpres 2004. Skripsi. FISIP. UI.
Kurniawan. 2001. Semiologi Rolland Barthes. Magelang : Indonesia Tera.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung : Angkasa.
Madya, Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan. Bandung : Angkasa.
Maesaroh, Siti. 2012. Pesan Moral dalam Novel Aborsi Atas Nama Kehormatan Karya Idayu Kristanti Analisis Struktural Semiotik. Skripsi. FS. Unpam.
Munaf, Yarni, dkk. 2001. Kajian Semiotik dan Mitologis Terhadap Tato Masyarakat Tradisional Kepulauan Mentawai. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Nasution, S dan M. Thomas. 2011. Buku Penuntun Membuat Tesis Skripsi, Disertasi, Makalah. Jakarta : Bumi Angkasa.
Noor, Ridyanto. 2001. Pengantar Kajian Sastra. Semarang : Fasindo.
Pari, Fariz. 1994. Epistemologi Semiotik Pierce (Kajian dan Terapan Teori Semiotik). Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Prodi Ilmu Filsafat. UI.
Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa.
Piliang, Yasraf Amir. Cetakan ke-10 : 2010. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra.
Puspitasari, Dian Asri. 2013. Humor Dalam Kumpulan Buku Kartun “Benny &Mice” Suatu Kajian Pragmatik. Skripsi. FIB. UNDIP.
Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Penyusuna Proposal Penelitian. Bandung : Alfabetha.
Saussure, Ferdinand de. 1993. Pengantar Linguistik Umum, terjemahan dari buku“Cours de Linguistic Generale”. Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Severin, Werner J dkk. Edisi ke-5 : 2011. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, & Terapan di dalam Media Massa. Jakarta : Kencana.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Soeparno. 2002. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Solehudin. 2009. Handout Sosiolinguistik. Modul. FPBS. UPI.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sunardi, Sutan. 2002. Semiotika negativa. Yogyakarta : Kanal.
Surono, Redyanto Noor, M. Muzakka, dan Suyanto. 2009. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Semarang : Fasindo.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Pers.
Wijana. 2004. Kartun : Studi Tentang Permainan Bahasa. Yogyakarta: Ombak.