Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan
atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme
menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif
terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup
lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa
perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih
efisien.
Dengan efisien saya maksudkan lebih
hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap
reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Di bawah ini diutarakan beberapa
fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha kita ke
arah efisien penulisan.
H E M A T
Penghematan diarahkan ke penghematan
ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan : yaitu unsur kata,
dan unsur kalimat.
Unsur kata :
1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa
dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:
agar supaya ................. agar,
supaya
akan tetapi ................. tapi
apabila ................. bila
sehingga ................. hingga
meskipun ................. meski
walaupun ................. walau
tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat
atau
berdiri sendiri).
2. Kata daripada atau dari pada
juga sering bisa disingkat jadi dari. Misalnya: “Keadaan lebih baik dari
pada zaman sebelum perang”, menjadi “Keadaan lebih baik sebelum perang”.
Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata, lebih
baik mati berputih tulang”.
3.
Ejaan yang salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf.
Misalnya:
sjah ......... sah
khawatir ......... kuatir
akhli ......... ahli
tammat ......... tamat
progressive ......... progresif
effektif ......... efektif
Catatan :
Kesulitan pokok kita di waktu yang lalu ialah belum adanya ejaan standard
bahasa Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat, tentang: roch atau roh?
zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan
atau kesusastraan? Tehnik atau teknik? Dirumah atau
di rumah? Mudah-mudahan dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan
standard, kita tak akan terus bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan
merupakan unsur dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting
dalam pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata
dari bahasa lain dan sebagainya.
4. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih
pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
makin = kian
terkejut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini
Catatan : Dua
kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya
soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada
kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.
Unsur Kalimat
Lebih efektif dari penghematan kata ialah
penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan
pemborosan kata.
1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
-
“Adalah merupakan kenyataan, bahwa
percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''. (Bisa disingkat:
''Merupakan kenyataan, bahwa ................'').
-
”Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro
sudah jelas”. (Bisa disingkat: “Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........”).
2. Pemakaian apakah atau apa
(mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
-
“Apakah Indonesia akan terus
tergantung pada bantuan luar negeri”? (Bisa disingkat: ''Akan terus tergantungkah
Indonesia.....'').
-
Baik kita lihat, apa(kah) dia di
rumah atau tidak''. (Bisa disingkat: ''Baik kita lihat, dia di rumah atau
tidak'').
3. Pemakaian dari sebagai terjemahan of
(Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada.
-
“Dalam hal ini pengertian dari
Pemerintah diperlukan''. (Bisa
disingkat: ''Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''.
-
''Sintaksis adalah bagian daripada
Tatabahasa''. (Bisa disingkat: ''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa'').
4. Pemakaian untuk sebagai
terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
-
“Uni Soviet cenderung untuk mengakui
hak-hak India”. (Bisa disingkat: “Uni Soviet cenderung mengakui............”).
-
“Pendirian semacam itu mudah untuk
dipahami”. (Bisa disingkat: “Pendirian semacam itu mudah dipahami”).
-
”GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk
memperbaruhi prosedur barang-barang modal”. (Bisa disingkat: “GINSI dan
Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......”).
Catatan : Dalam
kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi
kejelasan dipertahankan.
5. Pemakaian adalah sebagai terjemahan is
atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
- ''Kera adalah
binatang pemamah biak''. (Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak'').
Catatan : Dalam
struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu
ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita
bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus
menterjemahkan ''Man is a better driver than woman'', bisa mengacaukan bila
disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita''.
6.
Pembubuhan akan, telah, sedang
sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu :
-
“Presiden besok akan meninjau
pabrik ban Good year”. (Bisa disingkat: ''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
-
“Tadi
telah dikatakan ........'' (Bisa disingkat: “Tadi dikatakan.'').
-
“Kini Clay sedang sibuk
mempersiapkan diri”. (Bisa disingkat: “Kini Clay mempersiapkan diri”).
7. Pembubuhan bahwa
sering bisa ditiadakan:
-
“Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah
desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti”).
-
“Tidak diragukan lagi bahwa ialah
orangnya yang tepat”. (Bisa disingkat: “Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang
tepat”).
Catatan : Sebagai ganti bahwa
ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.
8. Yang, sebagai penghubung kata benda
dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat
tertentu:
-
“Indonesia harus menjadi tetangga yang
baik dari Australia''. (Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga
baik Australia'').
-
“Kami adalah pewaris yang sah dari
kebudayaan dunia''.
9. Pembentukan kata benda (ke + ..... + an
atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja atau kata
sifat, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang
sebenarnya tak perlu:
- “Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami
kebobolan”. (Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol”).
-
“PN Sandang menderita kerugian Rp 3
juta”. (Bisa dirumuskan: ''PN Sandang rugi Rp 3 juta”).
-
''Ia telah tiga kali melakukan penipuan
terhadap saya'' (Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya”).
-
Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini
sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam
tubuh partai''. (Bisa dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang
memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai'').
10. Penggunaan
kata sebagai dalam konteks “dikutip sebagai mengatakan” yang belakangan
ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris &
Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang,
dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted
as saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat
''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen
Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter
memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata
sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan
saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip
mengatakan...........''.
Bukankah masih terasa kesan bahwa si
reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?
Lagipula, seperti sering terjadi
dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses. Contoh: Ali
Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai
berkata: “Itu akan dilakukan dalam tiga tahap” Harian Kami, 7 Desember
1971, halaman 1). Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat,
selain boros.
11. Penggunaan dimana,
kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai
kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa
Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.
Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa
Indonesia (G. Kolff & Co.,
Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak
pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat
Indonesia yang “tidak meniru jalan bahasa Belanda”, dengan mempergunakan kata tempat,
kawan atau teman. Misalnya: “orang tempat dia berutang”
(bukan: pada siapa ia berutang); “orang kawannya berjanji tadi” (bukan:
orang dengan siapa ia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk
bahasa jurnalistik?
Misalnya: ''Rumah dimana saya
diam'', yang berasal dari “The house where I live in”, dalam bahasa
Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: “Rumah yang saya diami”. Misal
lain: “Negeri dimana ia dibesarkan”, dalam bahasa Indonesia semula
berbunyi: “Negeri tempat ia dibesarkan”.
Dari kedua misal itu terasa bahasa
Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak berarti kita harus
mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia.
Sekali lagi perlu ditegaskan:
penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya
ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran:
Kompas, 4 Desember
1971, halaman I:
“Penyakit itu dianggap berasal (dan
disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar
mereka ada di Vietnam”.
Sinar Harapan, 24
November 1971, halaman III:
“Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di
Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana korupsi, dimana
ke-9 buah perkara tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih
dalam pengusutan.''
Abadi, 6 Desember
1971, halaman II:
“Selanjutnya dinyatakan bahwa
keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana
secara tidak langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam
menjaga kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi dan peningkatan
ekspor”.
Dalam ketiga contoh kecerobohan
pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat,
melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain.
Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:
“Penyakit itu dianggap berasal (dan
disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada
di Vietnam''.
“Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di
Menado dewasa ini sedang menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9
perkata tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih
dalam pengusutan''.
Perhatikan :
- Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
- “Dewasa ini sedang” cukup jelas dengan “dewasa ini”.
- Kata “9 buah” bisa dihilangkan “buah”-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
“Selanjutnya dinyatakan bahwa
keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini
(atau lebih singkat: Ini) secara tidak langsung telah dapat ..........
dst”.
Perhatikan: Kalimat
dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini
diawalnya.
12. Dalam beberapa kasus, kata
yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa
ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas
(logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
-
“Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap
proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek
itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab
diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat
secara implisit sudah jelas).
-
“Pelatih PSSI Witarsa mengakui
kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia
juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain” (Kata kemudian diawal
kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara
implisit cukup jelas).
Tak perlu diuraikan lebih lanjut,
bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi
menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau
atau meski yang mengesankan ada yang mengesankan adanya perlawanan tak
bisa ditiadakan.
J E L A S
Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar
penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis.
Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
- Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
- Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.
Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa
menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya
kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran)
hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga
tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang.
Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang
itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi
faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber
yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia.
Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita
menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang
pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya
ini mereka pahami?
Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan
dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu
publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau majalah
kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian
besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.
Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik
yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang
belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai
dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat
teknis komposisi:
- tanda baca yang tertib.
- ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
- pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.
Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan
perhatian: yaitu unsur kata dan unsur kalimat
Unsur kata :
1. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini
begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income
per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two
China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall,
upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan
apa lagi.
Kata-kata itu sebenarnya bisa
diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat
pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi
pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak
bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami
bahasa Inggris sepatah pun tidak.
Sebelum terlambat, ikhtiar
menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera
dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri,
melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain.
Maka sulitlah kita mencari
terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive-in,
pant-suit, technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur,
boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena
pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau
begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom
dengan “cutbrai”) tetap perlu.
2.
Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim,
tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah
gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim
mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah
diingat.
Dalam bahasa Indonesia, yang
kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan
banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'',
''Bappenas'', ''Daswati'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan
& Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', ''Daerah
Swantantra Tingkat'' dan ''Hubungan Masyarakat''.
Tapi kiranya akan teramat
membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu
sering. Di samping itu, perlu diingat : ada yang membuat akronim untuk alasan
praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang
membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan
remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran: ''keruk
nasi'' untuk ''kerukunan nasional'').
Tapi ada pula yang membuat akronim
untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya “Manikebu”
untuk “Manifes Kebudayaan”, “Nekolim” untuk “neo-kolonialisme”. “Cinkom” untuk
“Cina Komunis”, “ASU” untuk “Ali Surachman”).
Bahasa jurnalistik, dari sikap
objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim
bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya “Jagung”
untuk “Jaksa Agung”, “Gepeng” untuk “Gerakan Penghematan”, “sas-sus” untuk
“desas-desus”.
Saya tak bermaksud memberikan batas
yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau
tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya
bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang
mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi
semula suatu akronim.
Misalnya akronim “Gepeng” jika terus-menerus
dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna “gerakan” dan “penghematan” yang
terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim ''ASU''.
Kita makin lama makin alpa buat apa
merenungkan kembali makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap
analitis dan kritis kita bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan
itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter
dan sangat penting dalam bahasa Indonesia.
Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga
lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu
ialah “dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak
kalimatnya”; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu
kalimat.
Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20
kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik.
Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga
13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan.
Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.
Contoh:
Harian Kami, 4 Desember 1971, halaman 1:
''Sehubungan dengan berita 'Harian Kami' tanggal 25 November 1971
hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi'
(berdasarkan keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN
Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah
diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam
& Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan
maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap berita itu.''
Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya
memerlukan dua kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang
wartawan. Pada pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan
di hadapan saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet
lagi soalnya jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan
dipergunakannya kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri.
Contoh:
Pedoman, 4 Desember 1971, halaman IV:
''Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat di mana
mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat.''
Perhatikan : Penulis kehilangan subjek semula
kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu
berarti, “yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat.”
Sinar Harapan, 22 November 1971, halaman VII:
“Di kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat
beserta sayur dan sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah
yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi
dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur,
opor ayam disantap bersama oleh mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar