Ujian Nasional (UN) merupakan momok yang
paling menakutkan bagi pelajar. Perjuangan selama tiga tahun ditentukan dalam
waktu kurang dari seminggu.
Semua siswa pasti ingin lulus dari
bangku sekolahnya dengan nilai yang sempurna. Segala macam cara dicobanya. Mulai
dengan berdesak-desakkan sambil bermacet-macetan di atas bus kota, belajar delapan jam perhari di sekolah selama
tiga tahun serta mengikuti les tambahan. Akan tetapi semua perjuangan selama
tiga tahun itu ditentukan dalam waktu yang kurang dari seminggu.
Bukan
hanya itu. UN diseting dengan cara yang ekstrim. Dijaga ketat oleh aparat
keamanan seperti buronan kelas kakap. Mulai saat proses pracetak naskah soal,
pendistribusian hingga UN itu berlangsung. Alasannya demi keamanan, agar tidak
sampai terjadi kebocoran soal Ujian. Sampai ujian berlangsung pun dijaga oleh
pengawas yang lebih dari satu, terkadang banyak juga sekolah yang memanfaatkan
kamera CCTV guna memantau agar tidak ada siswa yang menyontek.
Pemerintah
dengan program UN diharapkan mampu melahirkan bibit unggul yang kompeten.
Selain itu juga untuk menyaring siswa yang benar-benar pintar dengan tujuan
mengurangi angka pengangguran pasca kelulusan. Karena setiap tahun angka pengangguran
meningkat. Salah satu faktornya karena banyaknya lulusan sekolah yang belum dan
ingin mendapatkan pekerjaan. Namun fakta di lapangan, lapangan kerja yang ada
tidak bisa menyerap semua lulusan apalagi semuanya masih minim pengalaman
kerja.
UN
diseting untuk menyaring orang-orang pintar. Melalui UN, diharapkan yang lulus
itu adalah orang yang menguasai semua materi pelajaran yang diajarkan selama
kurang lebih tiga tahun lamanya. Akan tetapi dalam hal ini, pintar belum tentu
berhasil. Dalam kondisi ini yang dipakai adalah istilah orang yang beruntung
lebih baik dari orang pintar. Betapa tidak? Setiap tahun banyak orang yang
pintar secara prestasi akademik namun gagal saat mengikuti UN. Hasilnya tidak
lulus. Kalau begitu, apakah UN itu tepat untuk diterapkan sebagai barometer
kelulusan bagi setiap siswa? Apakah setimpal pengorbanan siswa selama tiga
tahun ditentukan dalam kurun waktu kurang dari seminggu? Dalam hal ini pemerintah
perlu mengkaji kembali sistem UN sebagai barometer kelulusan bagi setiap siswa.
UN Kacau
Pelaksanaan
UN di tidak serempak. Pelaksanaan UN di 11 Propinsi di Indonesia Tengah diundur
karena naskah soal yang belum siap. Dan pengumuman pengunduran jadwal tersebut
hanya berselang beberapa jam menjelang UN itu berlangsung, Banyak pakar yang
menyebutkan ini adalah pelaksanaan UN yang paling kacau dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. UN kacau, siapa
yang salah? Semua pihak terkait pasti tidak ada yang mau disalahkan. Baik dari
pihak Kemendikbud ataupun pihak Percetakan. Karena semuanya pasti punya alasan.
Banyak pihak pula yang mempertanyakan sistem pemenangan tender PT GIP selaku
salah satu perusahaan pemenang tender proyek pencetakan naskah soal UN yang
kini menuai masalah. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan bertanggung jawab
atas kekacauan ini?
Banyak
pihak yang dirugikan dalam kasus ini. Mulai dari siswa, pihak sekolah maupun
pemerintah. Mulai dari keuangan hingga psikis peserta. Tidak semua siswa senang
atas pengunduran jadwal UN ini. Karena tidak semua siswa bertempat tinggal
dekat dengan sekolah tempat berlangsungnya UN. Banyak juga yang berjarak
puluhan kilo meter ke sekolah. Belum lagi jika UN dilangsungkan di sekolah lain
yang lebih memenuhi syarat untuk melaksanakan UN. Banyak siswa yang menyewa
tempat tinggal sementara yang lebih dekat dengan tempat diadakannya UN. Kalau
UN diundur tentu mereka akan mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk makan dan
penginapan. Dan tidak semua orang tua murid itu mampu dalam hal ekonomi.
Pengunduran jadwal ini juga mengganggu psikologi peserta UN. Betapa tidak? Kegiatan
ekstrim yang seharusnya sudah selesai masih membayang di depan mata karena UN
belum juga dimulai. Kegiatan UN yang tidak serempak menimbulkan banyak
kecurangan mulai dari kebocoran soal hingga yang lain seperti penyelewengan
soal ujian oleh pihak-pihak tertentu yang berujung maraknya peserta UN yang
percaya akan kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya.
Pemerintah
sudah saatnya mengkaji ulang sistem kelulusan bagi siswa. Karena UN bukan cara
yang tepat sebagai barometer kelulusan. Masih banyak cara lain yang tepat
sebagai ajang evaluasi siswa. Seperti menggunakan nilai sehari-hari atau dengan
sistem tugas akhir seperti yang dipakai oleh semua perguruan tinggi. Dari
pengalaman sebelumnya, tidak semua orang yang lulus itu orang yang pintar
melainkan orang yang beruntung. Bisa saja saat sehari-hari siswa tersebut
jarang masuk atau sering melakukan tindakan indispliner.
UN
diharapkan mampu mencetak generasi muda yang jujur. Dalam pelaksanaan UN sering
terjadi ketidakjujuran siswa, seperti menyontek atau pun bekerjasama dengan
teman sebelah. Dalam pelaksanaan UN sering terjadi ketidakjujuran siswa,
seperti menyontek atau pun bekerjasama dengan teman sebelah. Yang dibutuhkan
negeri ini adalah generasi masa depan
yang jujur. Sehingga setelah mengabdi pada masyarakat atau saat berada di dunia
kerja menjadi orang yang jujur pula. Banyak orang yang tidak jujur di negeri
ini. Saat masih duduk dibangku sekolah sudah berani melakukan hal yang tidak
jujur bagaimana nanti?
UN
yang ada saat ini merupakan satu-satunya tonggak barometer kelulusan siswa.
Namanya juga tonggak kelulusan berarti hidup mati siswa ditentukan di sini.
Segalanya wajib dipersiapkan siswa termasuk dalam penguasaan materi pelajaran.
Namun karena ketatnya pelaksanaan UN ini melebihii buronan kelas kakap membuat
beban Psikologi siswa bertambah. Mereka seakan seperti tersangka yang
tersudutkan. Perjuangannya perlu diapresiasi. Berjalan jauh ke sekolah, banyak
juga yang berjalan kaki terutama mereka yang tinggal di pedalaman yang jauh
dari kota.
Namun sesampainya di ruang ujian, mereka di awasi secara ketat. Ada juga sekolah yang
sampai menyewa aparat keamanan demi ketertiban dan kelancaran jalannya UN.
Sehingga siswa merasa lebih terbebani. Alhasil jika siswa tersebut nilainya
tidak memenuhi standar yang ditetapkan maka dinyatakan tidak lulus. Sampai
kapan UN menjadi momok yang menegangkan bagi siswa? Sampai kapan pemerintah
akan terus berdiam diri?
Misbah Priagung Nursalim
Mahasiswa Universitas Pamulang
Jurusan Sastra Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar